Minggu, 14 Oktober 2012

Analisa tentang UU SISDIKNAS

Analisa tentang UU SISDIKNAS
(UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003)

v  Latar belakang
Indonesia pernah memiliki dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,  yaituUndang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dan yang kedua Undang- Undang No. 20 tahun 2003tentang Sisten Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), sebelumadanya kedua Undang- Undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional, Indonesia hanyamemiliki Undang- Undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950. Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar sistem pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan sistem pendidikan sebelumnya.

v  Analisa
Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN No 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendakiadanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yangmengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. SholehIskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama.Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agamaharus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”.
Padahaldalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan,
1) Dalam sekolah-sekolah negeridiadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yangditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri AgamaDi sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islamdimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah- madrash mendapat perlakuan yangsama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolahumum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran.
Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistempendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen PendidikanNasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajibmemberikan bahan kajiansekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemenPendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK MenagNomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA danSD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya).
Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh Kelompok tertentu sebagai RUU yang sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan  ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itumengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secarasubstansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaandan masyarakat, bukan lembaga pendidikan. Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga- lembaga pendidikan swasta non- Islam,sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam.
Hal yang ditentangadalah yang menyangkut keharusan sekolah- sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama denganpeserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga- lembaga penyelenggarapendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non- Islam, sebaliknya sekolah- sekolah non- Islam menyediakanguru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekaliyang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam.Konsekuensinya, beban anggaran sekolah- sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islamlebih besar daripada anggaran sekolah- sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain.
PadahalUU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan.Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUUSisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.
Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan daripenyelenggara negara sampai lembaga- lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan.Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang- undang tersebut tidaklah ada yang berjalan muluskedua-duanya mengandungkontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.
Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islamdengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ini, diantaranya :
1.      Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai Al Qur’an yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal3).
2.      Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan,karena anak- anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut olehsiswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
3.      Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional secara penuh(Pasal 17 dan 18).
4.      Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakattetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
5.      Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi(Pasal 37).


v  Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No20/2001.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20 Tahun2003 diantaranya adalah :
1.      UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik
2.      UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNASNo. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan.
3.      UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua.
4.      Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup.
5.      Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
6.      Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.


0 komentar:

Posting Komentar